Senin, 10 Mei 2010

Cepat Saji Sampai Mati



Papan-papan nama restoran makanan waralaba itu kini tersebar dimana-mana. Keberadaannya dipastikan selalu ada di hampir setiap jalan protokol kota Bengawan. Katanya, tempat itu menawarkan gaya hidup modern dan berkelas. Ya, siapa sekarang yang tak kenal McDonald, Kentucky Fried Chicken, dan Pizza Hut misalnya? Bisa dipastikan orang-orang tersebut akan dicap kuper dan ndeso bila tidak mengenal salah satu diantaranya. Di “kuil makanan” ini, seseorang bisa mendapati dirinya sebagai individu yang modern. Seperti kata Milton M.R. Freeman dalam Food for Thought (and other Important Considerations) , “Makanan dalam konteks manusia sangat penting untuk data pengembangan kebudayaan dan identitas diri”. Namun di sisi lain, mereka tak sadar akan sesuatu yang menghegemoninya. Hal ini menggambarkan keadaan Timur yang menikmati dominasi Barat atas diri mereka. Singkat kata, terhegemoni namun menikmati.
Kondisi ini pun seakan menjadi pertanda perubahan pengertian ihwal makan-memakan. Seiring berjalannya waktu, saya menyadari bahwa makan bukan hanya tentang memasukkan benda ke dalam mulut, mengunyah kemudian menelannya. Layaknya tahapan oral Freud yang menjelaskan sebuah kenikmatan yang timbul dari kegiatan memasukkan sesuatu ke dalam mulut. Makanan sekarang tidak hanya dipahami sebagai kebutuhan dasar manusia. Lebih dari itu, makanan dapat menjadi sebuah aktualisasi diri. Bagaimana kita memaknai proses makan memakan adalah sebuah ritual keseharian yang selalu kita lakukan. Ataukah kini hanya sekedar gaya untuk memenuhi eksistensi diri? Seperti yang diteriakkan Milton M.R. Freeman dalam Food for Thought (and other Important Considerations) “You are What You Eat”. Selanjutnya, proses makan dan makanan hanya akan menjadi sebuah komoditas, menjadi mimpi buruk, dan menjadi gaya hidup bagi manusia modern.
Michael Pollan dalam In Defense Food mengatakan bahwa “Food isn’t what it once was. Actually, much of what we eat today may not be food at all”. Ia menggugat pola konsumsi manusia, khususnya manusia modern yang dirasa telah melupakan nilai-nilai sakral dalam makanan. Ia menyebut industrialisasi makanan, pengalengan makanan, dan perubahan kandungan makanan sebagai ”the western diet”. Sebuah kondisi dimana pangan bukan lagi menjadi hak dasar, tetapi menjadi komoditas yang mengeksploitasi manusia dan sumber pangan sekaligus.
Realitasnya, ketika makanan-makanan barat itu menerobos pasaran kita, secara tidak langsung budaya-budaya tempat mereka berasal juga ikut masuk. Budaya dan gaya hidup barat merasuki otak kita. Mulai kecenderungan terhadap makanan asing, cara makan, sampai pada pemilihan tempat makan yang membawa kita pada paradigma inferior. Inferioritas ini kemudian menjadi sebuah kebiasaan. Sehingga terkadang kita rendah dalam menilai makanan lokal. Kaum kapitalis dengan lihainya mengaburkan pandangan kita terhadap makanan lokal dan sedikit demi sedikit melupakannya. Gagasan-gagasan itulah yang melahirkan identitas kolektif modernisme yang imajiner. Bahwa kita adalah orang modern yang beradab bila kita makan di McD atau restoram fastfood lain. Anthony Giddens mengatakan, cara hidup yang dimunculkan oleh modernitas telah membersihkan manusia dari semua jenis aspek tradisional. Manusia semakin terhomogenisasi dalam segala hal, seperti budaya, dimana budaya-budaya semakin tergerus oleh modernitas.
Keadaan semakin runyam ketika melihat masifnya promosi makanan-makanan fast food dewasa ini. Noam Chomsky sampai menuangkan kekesalannya terhadap media yang diungkapkannya dalam What Uncle Sam Really Wants. Menurutnya, dalam media “the market is advertisers, that is, other business. The product is audiences!” Dalam Hypermarket and Hypercomodity, Baudrillard juga berpendapat bahwa kesadaran kita sudah dikikis sedikit demi sedikit oleh papan billboards, iklan, selebaran, dan promosi. Sebuah kondisi yang membahayakan kesadaran kritis kita sebagai seorang konsumen. Dengan gempuran iklan-iklan yang tentu dikemas sangat menggiurkan, sulit bagi konsumen yang labil seperti halnya anak muda untuk berkata “tidak” pada rayuan iklan makanan siap saji tersebut.
Lalu, dimana posisi kuliner lokal kita? Inilah yang paling mengkhawatirkan. Sebagaimana diketahui, gaya hidup modern telah mereduksi sekaligus meng-hiper-kan nilai tentang makanan dalam waktu bersamaan. Sadarkah kita akan banyaknya jajanan tradisional masa kecil yang kini mulai hilang? Coba berhenti sejenak untuk meraba ingatan kita tentang kue-kue seperti madu mongso, rondo royal, gethuk, cenil, thiwul dan lainnya. Masih ingatkah kita pada rasanya yang alami, sederhana, namun lezat? Kue-kue tradisional yang dulu begitu mudahnya ditemukan di jalanan, kini mulai digusur dengan tempura-tempura olahan dan makanan-makanan instan. Makanan-makanan tradisional sekarang hanya menjadi jajanan pasar yang murahan, sulit ditemui, bahkan seringkali dianggap tidak higienis dan kuno. Mereka sudah kalah populer dengan McD, KFC, Pizza Hut, dll. yang berjejalan diantara jalanan kita. Menghampiri, membius, dan merayu dalam kemasan manis yang menawarkan gaya hidup modern. Melibas identitas lokal makanan kita. Lalu, siapkah kita kehilangan selera lokal demi taste global? Atau dengan kata lain, cepat saji sampai mati?