Zaman globalisasi telah merubah berbagai hal yang ada di muka bumi ini, tak terkecuali apa yang dialami oleh sebuah pakaian bernama kaos. Di abad mutakhir ini, kaos telah menjadi sebuah kebutuhan dan trend bagi masyarakat luas, lebih-lebih anak muda. Padahal, jika ditilik dari awal kemunculannya, fungsi kaos terbatas hanya sebagai “pakaian dalam”. Fungsi kaos sebagai pakaian luar baru bisa tersebar ke seluruh dunia tatkala John Wayne, Marlon Brando, dan James Dean mengenakan kaos sebagai pakaian luar di dalam film-film yang mereka bintangi pada tahun 1950-an.
Dalam perkembangannya, terjadi pergeseran makna kaos dalam kehidupan social. Maksudnya, kaos tidak lagi hanya dipandang sebagai kain penutup tubuh, namun lebih dari itu. Disini, kaos memainkan peran lebihnya yaitu sebagai wahana petanda. Singkatnya, kaos dapat mengkomunikasikan berbagai lokasi, identitas social, slogan-slogan, maupun kelompok/komunitas tertentu. Lebih lanjut, kaos seakan menjadi pelengkap gaya hidup modern. Bisa dikatakan, semangat kehidupan modern ialah semangat kaos oblong.
Bagi kalangan muda sendiri, kaos telah menjadi candu. Jika Marx pernah mengatakan bahwa agama itu candu, maka di zaman kapitalisme ini candu itu bernama kaos. Hal ini dapat diamati dari keseharian anak muda dalam beraktivitas. Semangat kaos “oblongisme” telah menjangkiti sebagian besar dari mereka, jika saya boleh menggeneralisir keadaan. Jika dirunut lebih lanjut, terdapat berbagai corak atau desain yang tersemat di dalam kaos-kaos mereka. Tren kaos anak muda dewasa ini cenderung mengarah ke desain kaos distro. Selain itu, kaos-kaos bernada resistensi juga cukup menggejala di kalangan anak muda. Ada pula kaos yang menggambarkan kesenangan seseorang pada hal-hal tertentu semisal musik, sastra, dan lain sebagainya. Mengutip Ariel Heryanto, salah satu pemikir kebudayaan pop di Indonesia, kaos oblong punya bobot komunikasi yang (sengaja atau tidak) telah menunjukkan identitas seseorang.
Permasalahannya, apakah anak muda disini telah memahami esensi dari apa yang mereka kenakan? Apakah mereka hanya terjebak pada budaya konsumerisme yang dihantarkan lewat media kaos ini? Sehingga pada akhirnya akan mematikan kreativitas anak muda karena mereka memakai kaos yang seragam, yang bermerk. Jikapun kaos mereka bernada resistensi, sudahkah mereka memahami makna dari petanda tersebut? Ataukah hanya ingin terlihat “wah”dan berbeda saja dengan yang lain? Semua kemungkinan itu dapat saja terjadi di tengah budaya konsumtif lagi pragmatis pemuda zaman sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar