Jumat, 13 Maret 2009

Media Komunitas: Angin Segar Pers Mahasiswa

Di era pasca reformasi sekarang ini, pers mahasiswa dirasakan kurang terdengar gaungnya. Ketika kebebasan informasi sudah menjadi milik kita semua dan media massa (baru) tumbuh subur, kondisi pers mahasiswa justru makin tenggelam. Eksistensi pers mahasiswa yang dahulu dibanggakan kini seakan memudar seiring bergulirnya zaman. Lebih ironisnya lagi, di lingkungan kampusnya sendiri-pun, keberadaan pers mahasiswa kurang populer di kalangan mahasiswa.

Jika menilik sejarah, pers mahasiswa mengalami periodesasi sejarah yang tidak dapat dilupakan dalam sejarah pergerakan. Setidaknya terdapat tiga fase dalam pergerakan pers mahasiswa. Pertama, fase sebelum kemerdekaan. Kedua, pada awal kemerdekaan yang ditandai munculnya rezim orde lama. Ketiga, fase pemerintahan Orde Baru hingga saat ini. Periodesasi ini mengingatkan kita betapa besarnya kontribusi atau peran yang diberikan oleh pers mahasiswa terhadap perubahan nasional. Disini pers mahasiswa memiliki role yang jelas, yaitu menjadi corong demokrasi bersama dengan kaum pergerakan dalam rangka mengkritisi rezim yang berkuasa. Dapat dibaca dari terbitannya yang kental dengan nuansa perlawanan dan cenderung mengarah ke jurnalisme propaganda.

Lalu setelah keran demokrasi dibuka dengan bebas seperti saat ini, dimanakah posisi pers mahasiswa sekarang? Sebagai gambaran, setelah reformasi bergulir pers-pers umum tidak segan lagi untuk mengungkap fakta dan analisis yang mengkritisi pemerintahan yang berkuasa. Bahkan mungkin jauh lebih berani dan nekad dibandingkan pers mahasiswa era pergerakan sekalipun. Dengan kenyataan tersebut, fungsi kontrol sosial dan peran pers mahasiswa telah mengalami dekadensi. Lantas, apa yang masih tersisa dari sebuah organisasi intra kampus bernama pers mahasiswa?

Terhadap problem klasik ini, salah satu solusinya ialah menjadikan pers mahasiswa sebagai pers yang berbasis komunitas. Di sini pers mahasiswa mendapati dirinya sebagai artikulator dari komunitasnya, dalam hal ini kampus. Pers mahasiswa sebagai media komunitas dituntut untuk peka dan peduli terhadap masalah-masalah yang muncul di dalam komunitasnya. Idealnya, pers mahasiswa bisa menjadi oposisi atau sebagai fungsi kontrol terhadap kebijakan kampus yang merugikan kepentingan mahasiswa.

Selanjutnya dengan menjadi community paper , bukan berarti pers mahasiswa menafikan problem-problem berskala nasional. Hanya saja sudut pandang dan cara kerjanya yang perlu diubah. Dapat diartikan, para pegiat pers mahasiswa tidak perlu memaksakan diri untuk meliput berita yang bersifat nasional. Sebab, tetap saja akhirnya pers mahasiswa akan tenggelam oleh pers umum yang notabene didukung oleh modal dan tenaga profesional yang kuat. Pers mahasiswa cukup menyampaikan opini dengan sudut pandang komunitasnya (kampus) dalam menyikapi permasalahan nasional yang muncul. Dengan begitu, pers mahasiswa akan lebih “membumi” dan memiliki ciri khas karena mengambil perspektif lain dalam menganalisis problem nasional. Tentu hal ini dapat menjadi poin plus tersendiri bagi pers mahasiswa.

Dalam segi output penerbitan, kemasan (layout) dan rubrikasi majalah ataupun buletin yang konservatif sudah selayaknya ditinggalkan. Pers mahasiswa harus lebih kreatif dalam membuat konsep baru terbitan supaya dapat diterima dan diapresiasi dengan baik oleh mahasiswa yang notabene pasar utama persma.

Untuk mendukung pers mahasiswa sebagai media komunitas, para pegiat pers mahasiswa harus lebih jeli dalam memanfaatkan kesempatan untuk lebih berkembang. Dengan perkembangan teknologi informasi yang pesat belakangan ini, pers mahasiswa dapat lebih memainkan peran dalam komunitasnya. Dengan media internet, pers mahasiswa dapat melebarkan sayapnya via website maupun blog. Media-media online ini dapat berfungsi sebagai wadah komunikasi antara pers mahasiswa dengan komunitasnya (civitas akademika dan masyarakat) sekaligus menjembatani komunikasi antar pers mahasiswa seluruh Indonesia. Website juga dapat berfungsi sebagai media publikasi majalah elektronik /e-magz, opini dan berita terbaru seputar kampus dan lain sebagainya.

Kini telah banyak pers mahasiswa yang memiliki media online. Internet sebagai sarana media informasi dan komunikasi memiliki dua kelebihan yaitu kecepatan dan daya jangkau. Faktanya, kebanyakan pers mahasiswa ini hanya memaksimalkan daya jangkaunya saja. Sisi kecepatan kurang terjamah karena penggunaan website-nya sendiri cenderung hanya untuk publikasi materi media cetaknya Ikhtiar ini tidak salah namun akan lebih baik lagi bila para aktivis mahasiswa dapat memanfaatkan faktor kecepatan ini sebagai nilai tambah website-nya. Dengan banyaknya manfaat yang ditawarkan oleh dunia maya, sudah selayaknya para pegiat pers mahasiswa memaksimalkan media yang satu ini untuk lebih merangkul komunitasnya, di lain sisi sebagai ladang pembelajaran menulis bagi para anggotanya.

Tidak bisa dinafikan bahwa segmen pers mahasiswa saat ini memang lebih lokal. Hal ini tidak perlu disesali. Hemat saya, jadikanlah itu sebagai sebuah kekuatan, bukannya keterbatasan. Akan lebih elegan bagi pers mahasiswa sekarang jika eksistensi dan manfaatnya dapat dirasakan oleh civitas akademikanya dahulu. Sejalan dengan hal itu pers mahasiswa kini dituntut untuk merekonstruksi jati dirinya kembali. Lupakanlah sejenak romantisme kejayaan di masa lalu dengan segala ideologi yang menyertainya. Lagu-lagu reorientasi dan reposisi jelas masih bernas untuk digemakan. Ide menjadi media komunitas dapat menjadi angin segar bagi perjalanan pers mahasiswa. Bermula dari kampus, eksistensi persma harus mulai dikembangkan. Bukan suatu hal yang mustahil, masa keemasan pers mahasiswa akan dapat diraih kembali.

Tidak ada komentar: