Sabtu, 17 Mei 2008

Atas Nama Pasar, Lagu Cinta Melulu…




Tidak ada yang tidak menarik dari sebuah lagu cinta, kecuali cara penyajiannya. Dan apa yang marak terjadi hari ini, sungguh terasa klise dan banal. Nada-nada yang minor dan irama mendayu-dayu menjadi rumus komposisi yang semakin melelahkan. Mudah ditebak, padanannya berupa lirik-lirik cengeng, mencoba dramatis, dengan pilihan kosa kata berikut rangkaian kalimat yang itu-itu saja. Sementara untuk tema, tidak akan jauh dari kesenduan ditinggal kekasih, diusik rindu, dan- yang terfavorit- perselingkuhan.
Kesemua itu, setiap hari terdengar dimana-mana. Berjejalan tiada henti. Lalu, ketika mutu dan tanggungjawab dipertanyakan, jawaban instannya tak lain: atas nama pasar. Sepertinya, mereka yang berada di industri musik menganggap sebagian besar masyarakat bodoh. Jikalau benar, bukan berarti harus dibuat semakin bodoh, bukan?
Keadaan semakin membosankan ketika lagu-lagu cinta semacam itu bukan hanya berjumlah beberapa dari keseluruhan materi sebuah album, namun mendominasi, bahkan ”jika perlu” seluruhnya. Mungkin itu bisa masuk akal andai semua lagu cinta itu dibuat berkualitas, dari segi apa pun. Tapi, mayoritas yang ada tidak demikian. Ada apa dengan para pencipta lagu? Ada apa dengan pencari talenta? Ada apa dengan para pendana rilisan album musik? Tampaknya, ada jawaban yang masih sama: atas nama pasar. Sementara pasar, sejauh ini, telah membuktikan ”intelektualitas” kuping mereka. Cukup banyak lagu-lagu bertema di luar cinta, atau pun lagu-lagu cinta yang tidak klise, terbukti mengecap kesuksesan komersial di pasaran. Kalau saya harus menyebut contoh, untuk mempertegas pernyataan di atas, terpaksa saya kembali bertanya: Seberapa besar dan merakyat nama-nama seperti Benyamin S, Slank, dan Iwan Fals bagi kita?
Sepertinya, selalu ada fenomena lagu-lagu cinta klise di pasaran di berbagai era. Dan selalu hadir seniman-seniman (baik didukung maupun tidak oleh para pendana) yang menciptakan karya-karya segar yang berbobot sebagai penyeimbangnya. Selalu ada pendapat tidak setuju pada keseragaman lagu-lagu cinta kualitas rendah yang diproduksi massal. Dan belakangan ini melalui ”Cinta Melulu”, single kedua dari album debut Efek Rumah Kaca (ERK), bisa jadi lagu pop pertama di Indonesia yang secara jernih dan menyentil mendendangkan suara kontranya.
Dan dengan diwakili lagu tersebut, ERK mencoba menyindir dengan “bersahaja” keseragaman yang telah dibuat oleh pasar. Melalui sepenggal liriknya, kita dapat membuktikan sekaligus mempertanyakan apakah orang Indonesia memang bersteorotip melayu? Suka yang sendu-sendu? Suka mendayu-dayu?? Hayo semua pada ngaku?!

Lagu cinta melulu
Kita memang benar-benar Melayu
Suka mendayu-dayu…

8 komentar:

Alfie mengatakan...

Bener Chris saat ini in sepertinya lagu-lagu cina seperti virus. menyebar dengan cepatnya ke seluruh lapisan masyarakat.

pada saat nulis komen ini, aku juga sedang disuguhin lagu dari band Indonesia yang gak tau namanya yang juga mengusung tema cinta.

tema cinta seperti itu sepertinya menjadikan lagu-lagu Indonesia kurang menggigit di telingaku dan mungkin juga telingamu. he3x

ala'vina mengatakan...

Iyo kie mas!!!!!

Kemarin aku baca artikel di Suara Merdeka yang profil-nya Afgan (penyanyi 'Terima Kasih Cinta').

Ternyata dia sebenarnya lebih suka lagu-lagu jazz...
Tapi dia nggak mengusung tema itu di lagunya karena ---selera pasar---!!!!!!

Menurutku orang Indonesia memang belum mau 'mencicipi'sesuatu yang beda...

Tapi kata mantan PU: Tulislah 'apa yang ingin kau tulis' bukan 'apa yang diingikan orang untuk kamu tulis'.

Berkarya harus sesuai dengan hati nurani...

Cokorbass mengatakan...

he2..
sebenernya ga slh juga sih orang Indonesia doyan lagu cinta. lagu jenis ini memang yg plg co2k jadi temen pas qt kesepian..nglamun ga jelas..lbh asikan dger lagu yg mellow kn klo suasana qt lagi kya gni. tapi masalahnya lagu mellow yg gmn dlu..mw yg ngruntuhin smgt hidup kya lagu2nya kangen band atw lagu pop mellow yg justru memantik smgt qt utk bercahaya lagi. tinggal pilih aja. tapi syangnya kebanyakan org milih opsi yg pertama. Ya beginilah situasinya sekarang.

Risma Hasnawaty mengatakan...

Duh, kasian banget seh kangen band disalahin mlulu! hehe... tapi klo gw siy tetep SOULJAH foevah!

Oya kris, thx untuk ERK & SORE-nya!
Kapan neh Cokorningratannya?! ;p

ARUMI SENDIRI mengatakan...

chris, kalo gtoh tunjukin cokormu!
maksutna, ibarat ayam jago, tunjukin tajimu n temen"mu lewat cokorningratanmu dengan bikin karya yg lain daripada yg laen...

mungkin dengan bikin lagu yg temanya lebih ekonomi -kalo sosial udah sering jadi alternate theme-
hwekekekekkekek...

link michan y!

http://arumisendiri.blogspot.com/

Gunemane Gemblink mengatakan...

Cuma mau bilang kris. Memang lebih mudah mengkritik daripada membuat sebuah karya.

Garage Grindhead mengatakan...

Tulisannya keren euy!

Cokorbass mengatakan...

yup, tapi akan lebih menyedihkan lagi jika kita menerima langsung segala sesuatu secara mentah-mentah dan tanpa perlawanan. Tulisanku ini hanya sebagai pemantik resistensi saja. Not more

cheers