Minggu, 18 Juli 2010
Hentikan Mafia Perbukuan!
Praktek-praktek mafia nampaknya telah menjangkiti seluruh sendi kehidupan kita. Tak terkecuali dalam bidang pendidikan. Datangnya tahun ajaran baru merupakan berkah bagi para oportunis yang memang suka memanfaatkan keadaan. Kali ini, para oportunis itu berwujud pejabat di lingkungan Diknas, sekolah, hingga para guru. Kebijakan buku baru untuk suatu tahun ajaran baru merupakan sebuah pembodohan besar yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun. Ironisnya, masyarakat pun seolah tak bisa berbuat apa-apa menghadapi sepak terjang para ”mafia” ini.
Dengan iming-iming rabat tinggi, bonus, hingga souvenir cantik dari penerbit, para guru dan pejabat sekolah pun menjadi gelap mata. Tak tahan dengan besarnya rupiah yang kadang memang lebih besar daripada penghasilan utama mereka. Akibatnya jelas, wali murid lah yang paling dirugikan. Lebih dari itu, kualitas belajar mengajar juga dapat terancam karena sang guru lebih sibuk mengurusi “bisnis”nya daripada mengurusi anak didiknya.
Sebenarnya hal ini tak perlu terjadi jika pemerintah serius dalam menggarap program buku teksnya. Dengan adanya buku teks yang komprehensif dan didukung dengan distribusi yang baik, tentu sudah dapat menunjang proses belajar mengajar di sekolah. Sayangnya, dalam pengadaan buku teks ini pun banyak terjadi “penyunatan” anggaran yang tidak semestinya oleh oknum Kementerian Pendidikan. Sehingga harapan pemerintah untuk mewujudkan ketersediaan satu buku teks untuk satu siswa seakan menjadi angan-angan saja. Distribusi yang buruk ditambah dengan tidak memadainya jumlah buku semakin menambah alasan para oknum guru untuk berbisnis buku.
Buku hanyalah salah satu unsur penunjang dalam keberhasilan suatu proses belajar mengajar. Masih banyak faktor lain seperti kurikulum maupun profesionalitas guru sendiri dalam menentukan maksimal tidaknya proses pembelajaran. Namun begitu, tidak selayaknya buku yang notabene gudang ilmu dijadikan suatu komoditas yang tak bertanggung jawab. Seandainya buku bisa bicara, mungkin sejak lama ia terus meronta, memohon keadilan supaya ilmunya dapat dinikmati oleh semua tanpa embel-embel ”rupiah” yang menyiksa.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Sebenarnya, permasalahannya apakah studi setiap murid sangat tergantung sebuah buku yang perlu dibeli dan hanya berlaku setiap tahun ajaran? Terkadang sistem pendidikan memaksa murid-murid untuk tergantung dan.... bayar tentunya.
Posting Komentar