Jumat, 26 November 2010
Manajemen Penerbitan Media Komunitas
Dalam rangka menatap kehidupan kampus yang semakin dinamis, organisasi-organisasi kemahasiswaan sekarang dituntut untuk menjawab tantangan tersebut. Organisasi-organisasi ini diharapkan memiliki alternatif perjuangan selain melalui core atau keahlian mereka masing-masing. Salah satu alternatif yang banyak dilirik para aktivis organisasi dewasa ini ialah lewat tulis menulis, atau istilah kerennya pers. Tujuan didirikannya bidang pers ini sangatlah bervariasi, namun intinya memang ditujukan untuk mendukung organisasi induknya. Benang merah yang dapat diambil disini ialah fungsi pers berjalan sebagai media/pers komunitas. Untuk itu, dalam makalah ini nantinya akan lebih diarahkan kepada manajemen media komunitas itu sendiri.
Media komunitas pada dasarnya dibangun sebagai saluran komunikasi antar anggota kelompok. Media ini sewajarnya dibangun oleh komunitas tertentu dan diterbitkan secara independen, dan tidak diperuntukkan sebagai ajang komersialisasi. Secara umum, terdapat tiga fungsi dari media komunitas:
• Media Komunikasi
Dapat dikatakan bahwa komunikasi disini adalah untuk berbagi sesuatu hal kepada orang lain, baik berupa informasi, ide, gagasan, ataupun emosi dalam lingkup komunitasnya.
• Sebagai School of Journalism
Media komunitas memiliki peran yang sangat baik sebagai wadah bagi mereka yang ingin belajar menulis. Disini kompetensi tulis menulis sesuai dengan “ideologinya” dapat ditempa dan diarahkan dengan baik.
• Sebagai pembentuk Opini Publik
Peran media sebagai pembentuk opini publik tentu tidak diragukan lagi. Kecenderungannya, media komunitas akan lebih leluasa daripada media umum karena pengelolaannya tidak terpengaruh oleh kekuatan pemilik modal.
Media/pers komunitas (dalam lingkup universitas) tentu saja berbeda dengan pers umum, walaupun keduanya sama-sama bergerak di ranah jurnalistik. Perbedaan tersebut diantaranya :
Tabel Perbedaan Pers Komunitas dan Pers Umum
Keterangan Pers Komunitas Pers Umum
Jenis Organisasi non profit Profit oriented
Personil/SDM Mahasiswa Wartawan dan profesional yang terkait
Struktur Organisasi Sederhana (sesuai kebutuhan) Rapi dan kompleks
Sumber Keuangan Swadaya, iklan komersil, kampus Investor, iklan, pengguna jasa, konsumen, dll
Sasaran Terbitan/Produk Komunitas masing-masing Masyarakat umum
Pertanggungjawaban Intern&Ekstern Organisasi, pihak kampus Pihak pemilik dan investor
Dilihat dari perbedaan-perbedaan tersebut, pers komunitas memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan pers umum. Dengan minimnya intervensi dari luar, tulisan pers komunitas tentu diharapkan akan lebih kritis dan idealis. Struktur organisasi yang sederhana mempermudah pengendalian dan pengawasan. Sasaran terbitannya-pun lebih jelas karena media komunitas hidup di tengah-tengah komunitas itu sendiri.
Selain memiliki kelebihan, tentu pers komunitas juga memiliki beberapa kekurangan. Dengan menyandang diri sebagai organisasi non profit, konsekuensi logis yang harus diterima pers komunitas ialah masalah dana. Jika permasalahan ini tidak segera ditemukan solusinya maka cepat atau lambat eksistensi pers komunitas tersebut akan mati. Struktur organisasi yang sederhana juga dapat menjadi bumerang. Terkadang pers komunitas membutuhkan struktur yang sedikit lebih kompleks untuk memaksimalkan kinerjanya. Dalam hal ini, kebutuhan juga harus disesuaikan dengan kemampuan terlebih dahulu.
Manajemen Media Komunitas
Menurut Yurnaldi, wartawan Kompas, manajemen produksi media ialah suatu proses kegiatan seseorang atau sekelompok orang secara sistematis, dalam menghasilkan produk media tertentu untuk menyebarluaskan berita demi mencapai suatu sasaran yang ditentukan dengan memanfaatkan sumber daya yang ada secara efektif dan efisien.
Untuk mengelola media komunitas secara efektif dan efisien, diperlukan penerapan prinsip-prinsip pokok dalam manajemen yakni planning, actuating, controlling, dan evaluating. Prinsip-prinsip ini harus dilaksanakan dengan melibatkan seluruh elemen dalam intern organisasi.
• Planning
Planning/perencanaan merupakan hal penting pertama yang harus dilakukan dalam manajemen. Tanpa perencanaan yang baik dan sistematis, mustahil tujuan akan tercapai. Dalam media komunitas, diperlukan penyusunan program-program kerja yang komprehensif untuk mencapai sasaran organisasi. Disini perlu ditekankan bahwa program kerja harus dibuat se-rasional mungkin dalam artian sesuai dengan anggaran dan kemampuan SDM di masing-masing organisasi.
• Actuating
Actuating/pelaksanaan adalah roh dalam organisasi. Seorang filsuf berkebangsaan Jerman, Friedrich Engels pernah mengatakan, satu ons tindakan sama berartinya dengan satu ton teori. Jadi, implementasi adalah sama pentingnya dengan perencanaan. Oleh karena itu, konsep the right man on the right place sangatlah diperlukan. Serahkan suatu hal pada ahlinya. Untuk menunjuk orang yang tepat, diperlukan adanya komunikasi yang intens antar anggota organisasi. Dengan adanya komunikasi, kompetensi seseorang seringkali akan dapat diketahui. Selanjutnya, action juga harus bisa menyesuaikan dengan situasi dan kondisi. Bila terdapat hambatan-hambatan dalam pelaksanaan, harus segera direspons dengan tindakan yang tepat dan terarah.
• Controlling
Controlling/pengawasan adalah kunci dalam manajemen. Walaupun pendelegasian tugas adalah hal yang mutlak dalam sebuah organisasi, bukan berarti semua berjalan sendiri-sendiri dan tak terkendali. Seorang yang buta-pun akan dapat berjalan dengan normal jika dituntun dengan baik. Begitu pula orang-orang dalam organisasi,seburuk-buruknya sistem manajemen jika ada kontrol dan umpan balik yang rutin maka hasilnya akan masih dapat diterima. Sistem reward and punishment juga bisa menjadi salah satu elemen penting dalam controlling. Diharapkan dengan diberlakukannya sistem tersebut, pelaksanaan organisasi tidak melenceng dari sasaran yang direncanakan.
• Evaluating
Pengevaluasian kinerja selama periode tertentu diperlukan untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan organisasi. Menjadi sangat penting karena dengan evaluasi yang kontinyu dan komprehensif, pada kesempatan kedepan kita lebih bisa mengantisipasi kendala yang mungkin terjadi.
Perangkat-Perangkat Penerbitan
Dalam suatu kegiatan produksi penerbitan, secara garis besar terdapat tiga komponen yang masing-masing merupakan sub proses sendiri namun merupakan mata rantai yang terintegrasi. Ketiga kelompok itu ialah:
•Kelompok Redaksi. Secara struktur terbagi atas pemimpin redaksi, redaktur pelaksana, reporter, editor, dan fotografer. Mekanisme redaksional terdiri dari getting (mendapatkan bahan-bahan), budgeting (pengumpulan bahan-bahan yang telah didapatkan) dan processing(pemrosesan).
•Kelompok Artistik. Peran kelompok ini adalah mempercantik hasil olahan redaksi untuk selanjutnya diproses menjadi sebuah terbitan. Kelompok ini biasanya terdiri dari lay-outer dan ilustrator.
•Kelompok Usaha. Bidang usaha merupakan supporting unit dan memiliki peran strategis karena redaksi tidak dapat berbuat apa-apa tanpa dukungan dari bidang usaha. Secara umum pengelolaan bidang usaha pers komunitas terdiri dari pemimpin usaha, keuangan, iklan, sirkulasi, dan usaha lain. Bidang ini tergantung dari seberapa besar media tersebut. Pengembangan usaha pers harus selaras antara redaksi dan usaha.
•Kelompok Percetakan. Kelompok ini bertugas melanjutkan hasil kerja kelompok-kelompok sebelumnya dalam rangka menerbitkan sebuah media yang berkualitas.
Proses Pembuatan Media
Kegiatan jurnalistik adalah kegiatan inti dari sebuah organisasi pers. Untuk itu diperlukan sistematika kinerja yang baik dan terarah untuk menghasilkan produk-produk jurnalistik yang berkualitas. Berikut proses pembuatan sebuah media jurnalistik:
Rapat Proses Proses Proses Setting Proses
Redaksi Reportase Penulisan Editing Lay-out Cetak
• Rapat Redaksi
Rapat redaksi adalah tempat untuk mendiskusikan materi yang akan diangkat dalam media yang bersangkutan. Biasanya rapat redaksi juga menentukan penanggungjawab rubrik.
• Proses Reportase
Setelah penentuan berita maka diperlukan verifikasi terhadap berita yang ditetapkan. Dimulai dari pembuatan surat izin wawancara, interview dengan narasumber, pencarian data sekunder, hingga pencarian foto untuk mendukung tulisan.
• Proses Penulisan
Setelah wartawan mendapat berita dan melengkapinya dengan sumber-sumber berita, maka berita segera disusun menjadi sebuah tulisan.
•Proses Editing
Sebelum diserahkan kepada editor, biasanya tulisan diserahkan ke penanggungjawab rubrik/redaktur terdahulu untuk diseleksi kelayakan muatnya. Tulisan yang telah lolos seleksi diserahkan pada editor bahasa guna dilakukan pemeriksaan kesalahan ejaan, serta kaidah penulisan.
• Setting Lay-Out
Seyogyanya tim lay-out sudah mulai membuat konsep perwajahan setelah rapat redaksi. Untuk teknis pelaksanaan, lay-outing mulai bekerja setelah tulisan, foto, ilustrasi, maupun iklan telah fix.
• Proses Cetak
Proses ini adalah proses terakhir dalam pembuatan media dan memiliki peranan yang sangat penting. Sebagus apapun hasil lay-out-nya akan berakhir buruk apabila tidak ditunjang dengan pengawasan proses cetak dan pemilihan percetakan yang baik.
Bisa dibilang, proses pembuatan sebuah media komunitas tidaklah serumit yang dibayangkan. Dengan struktur yang sederhana-pun media komunitas bisa berjalan jika dikelola dengan baik. Kelebihan lain, media komunitas biasanya juga telah memiliki target pasar tersendiri. Permasalahannya disini, bagaimana mengelola sebuah media komunitas agar bisa terus eksis, paling tidak di komunitasnya sendiri.Walaupun belum seprofesionel pers umum, namun konsep-konsep manajemen dan pengetahuan tentang jurnalistik tetaplah harus dikuasai. Jangan sampai media komunitas hanya terbit beberapa kali lalu setelah itu mati. Atau yang tidak kalah menyedihkan, dipinggirkan dalam komunitasnya sendiri. Kunci dari pers komunitas ialah pada konsistensi. Dengan diimbangi pengembangan diri dalam bidang jurnalistik, niscaya akan menghasilkan sebuah media komunitas yang berkualitas dan berpengaruh.
(Tulisan ini adalah materi saya saat mengisi diklat jurnalistik di fakultas Sastra UNS. Semoga bermanfaat bagi yang membutuhkan referensi seputar manajemen pers mahasiswa)
Selasa, 19 Oktober 2010
Salah Tempat
Alkisah, Tom Gembus diundang njagong nikahannya Lady Cempluk, teman SMA-nya dulu. Karena tidak tahu letak gedung resepsinya, Tom Gembus lantas meminta Lady Cempluk untuk memberi ancer-ancer via sms. “ Sebelum palang sepur Joglo, kowe belok kiri. Lurus terus sampai nemu perempatan sing kepapat, terus belok kiri meneh. Mengko ana mesjid, lha gedunge ning samping mesjid,” tulis Lady Cempluk panjang lebar. Tom Gembus pun manthuk-manthuk, padahal dia awam daerah situ.
Esok harinya, Tom Gembus ngajak Gendhuk Nicole, sang pacar, untuk menemaninya njagong. Sampai di palang sepur Joglo, dia membuka hp-nya untuk membaca ancer-ancer Lady Cempluk kemarin. Bagai disambar petir, ternyata sms-nya kehapus. Alhasil, Tom Gembus muring-muring dhewe. “Wah, yen sms Cempluk saiki genah ra dibales. Gek aku lali blas ancer-ancere. Elinge gur bagian mesjid, tapi mesjid kan akeh. Haduuh…,” Tom Gembus menangisi kebodohannya.
Berbekal ingatan yang pas-pasan, Tom Gembus melanjutkan pencariannya. Beberapa menit perjalanan, sampailah Tom dan Gendhuk pada sebuah tempat yang ramai dikunjungi. Ternyata memang ada jagongan di sana. “Nah, mesti iki panggone Ndhuk. Sampinge yo ana mesjid to,” kata Tom Gembus sembari menunjuk masjid di samping sumber keramaian itu. Gendhuk Nicole cuma bisa manthuk-manthuk tanda setuju.
Lalu dengan pede-nya Tom Gembus dan Gendhuk Nicole langsung duduk di kursi tamu. Karena datang terlambat, mereka hanya bisa duduk di luar gedung dan tak bisa melihat sang pengantin langsung. Begitu acara selesai, keluarlah sang pengantin untuk menyalami tamu-tamunya. Saat itu juga, Tom Gembus terkesiap dari tempat duduknya.”Walah, kok rupane Lady Cempluk bedho. Kita salah tempat Ndhuk!” kata Tom Gembus ngeri. ”Waduh, lha piye to mas.. Padahal aku wis nyumbang piring gelas kesayanganku lho..” lanjut Gendhuk Nicole melas.
Dengan wajah muram, Tom Gembus kembali memacu motor bututnya. Berharap masih ada jagongan di samping masjid yang lain. Nasib-nasib..
(tulisan pernah dimuat di harian Solopos, Selasa (5/10) 2010 dengan judul "Tuku Sega".)
Minggu, 18 Juli 2010
Hentikan Mafia Perbukuan!
Praktek-praktek mafia nampaknya telah menjangkiti seluruh sendi kehidupan kita. Tak terkecuali dalam bidang pendidikan. Datangnya tahun ajaran baru merupakan berkah bagi para oportunis yang memang suka memanfaatkan keadaan. Kali ini, para oportunis itu berwujud pejabat di lingkungan Diknas, sekolah, hingga para guru. Kebijakan buku baru untuk suatu tahun ajaran baru merupakan sebuah pembodohan besar yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun. Ironisnya, masyarakat pun seolah tak bisa berbuat apa-apa menghadapi sepak terjang para ”mafia” ini.
Dengan iming-iming rabat tinggi, bonus, hingga souvenir cantik dari penerbit, para guru dan pejabat sekolah pun menjadi gelap mata. Tak tahan dengan besarnya rupiah yang kadang memang lebih besar daripada penghasilan utama mereka. Akibatnya jelas, wali murid lah yang paling dirugikan. Lebih dari itu, kualitas belajar mengajar juga dapat terancam karena sang guru lebih sibuk mengurusi “bisnis”nya daripada mengurusi anak didiknya.
Sebenarnya hal ini tak perlu terjadi jika pemerintah serius dalam menggarap program buku teksnya. Dengan adanya buku teks yang komprehensif dan didukung dengan distribusi yang baik, tentu sudah dapat menunjang proses belajar mengajar di sekolah. Sayangnya, dalam pengadaan buku teks ini pun banyak terjadi “penyunatan” anggaran yang tidak semestinya oleh oknum Kementerian Pendidikan. Sehingga harapan pemerintah untuk mewujudkan ketersediaan satu buku teks untuk satu siswa seakan menjadi angan-angan saja. Distribusi yang buruk ditambah dengan tidak memadainya jumlah buku semakin menambah alasan para oknum guru untuk berbisnis buku.
Buku hanyalah salah satu unsur penunjang dalam keberhasilan suatu proses belajar mengajar. Masih banyak faktor lain seperti kurikulum maupun profesionalitas guru sendiri dalam menentukan maksimal tidaknya proses pembelajaran. Namun begitu, tidak selayaknya buku yang notabene gudang ilmu dijadikan suatu komoditas yang tak bertanggung jawab. Seandainya buku bisa bicara, mungkin sejak lama ia terus meronta, memohon keadilan supaya ilmunya dapat dinikmati oleh semua tanpa embel-embel ”rupiah” yang menyiksa.
Minggu, 11 Juli 2010
Harapan pada Angkutan
Problema angkutan umum di negeri kita memang sudah masuk pada taraf yang mengkhawatirkan. Bagaimana tidak, sudah terlalu banyak armada tak laik jalan yang masih dibiarkan berlalu lalang di setiap kota. Di ibukota sendiri, tercatat 72% angkutan umum yang sudah selayaknya masuk kandang. Sebuah angka yang kiranya cukup mewakili keseluruhan kondisi angkutan umum di Indonesia.
Peremajaan, itulah seruan yang belakangan sering dihembuskan masyarakat terkait permasalahan ini. Pemerintah sebenarnya telah menganjurkan para pengusaha otobus untuk melakukan peremajaan armada, tapi selalu saja mentok karena pengusaha terus berdalih kesulitan biaya. Alasan semacam ini tentunya tidak bisa selamanya dimaklumi oleh pemerintah. Pada suatu titik, pemerintah harus dapat bersikap tegas dalam penegakan regulasi yang berpihak pada kenyamanan konsumen. Solusi lain yang cukup potensial ialah dengan membuka peluang bagi investor untuk bermain di sektor transportasi ini. Dengan langkah tersebut, diharapkan terbentuk iklim kompetisi antar para pengusaha otobus dalam memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya.
Ketika sebuah negara berkembang ingin bertransformasi menjadi negara maju, sudah selayaknya transportasi massal menjadi perhatian utama penguasa. Itu karena angkutan umum merupakan moda transportasi universal, yang bisa diakses seluruh elemen masyarakat. Dengan perbaikan menyeluruh dan pengawasan yang kontinyu, angkutan umum akan berevolusi menjadi primadona transportasi di negeri kita. Tentunya hal ini juga harus dibarengi dengan perbaikan infrastruktur-infrastruktur penunjang, sehingga perubahan akan lebih terasa manfaatnya. Di sisi lain, sinergi antara masyarakat dengan pejabat terkait juga penting dalam pemeliharaan sarana transportasi umum ini. Sudah bukan zamannya lagi rakyat kecil bertaruh nyawa di jalanan akibat buruknya pelayanan angkutan.
Senin, 05 Juli 2010
Loew tetap Terdepan
Piala Dunia di Afrika Selatan telah memunculkan berbagai kejutan. Banyak tim besar yang angkat koper lebih awal seperti Inggris, Italia, dan Brazil. Sebagaimana diketahui, tim-tim tersebut memiliki pelatih yang memiliki reputasi bagus dan pemain berkualitas. Namun hasil di lapangan ternyata tak berbanding lurus dengan harapan yang digantungkan pada mereka.
Lain halnya dengan die Nationalmannschaft. Sang arsitek, Joachim Loew berhasil meramu tim mudanya untuk berbicara banyak di PD kali ini. Langkah awalnya, dia tak segan membuang pemain yang sekiranya kurang cocok dengan skema permainannya. Kasus Kuranyi ialah salah satunya. Loew pun tetap yakin dengan pemain seperti Podolski dan Klose meski performanya sedang meredup di klub.
Dengan formasi 4-2-3-1 yang menekankan pada efektivitas permainan, terbukti Jerman telah menghasilkan 13 gol dan hanya kemasukan 2 gol hingga perempatfinal. Pergerakan Podolski, Muller, dan Ozil sebagai trisula penyokong Klose seakan sulit untuk dihentikan. Istimewanya, trisula ini pun telah mencetak lebih dari setengah gol tim Panser.
Menilik fakta tersebut, bisa dikatakan Joachim Loew telah sukses meracik strategi timnya hingga saat ini. Dengan permainan kolektif yang diperagakan selama ini, orang awam pun dapat melihat bahwa Jerman-lah kandidat terkuat peraih titel Piala Dunia.
Jumat, 11 Juni 2010
Martir
Selasa, 1 Juni 2010, tampaknya menjadi ”Hari Berkabung Dunia”. Nyaris tanpa kesepakatan, hampir semua media massa – cetak, televisi, internet, radio – menempatkan berita penyerangan kapal Ravi Marmara oleh tentara Israel sebagai headline. Sebuah tragedi kemanusiaan yang memicu setumpuk simpati sekaligus kemarahan, melewati batas wilayah dan negara. Suatu kejadian yang sangat mengganggu hati nurani kita sebagai manusia.
Pertanyaannya, kenapa penyerangan terhadap misi kemanusiaan ini begitu mengganggu benak kita? Pasti persoalannya bukan melulu karena derita dan korban yang berjatuhan. Kalau hanya karena penderitaan, rasanya ada banyak derita lain yang tak kalah getir untuk diberi simpati. Lantas, karena apa lagi? Jawabannya mungkin ada pada hati kita masing-masing, dan mungkin juga berbeda satu sama lain. Namun jika ditarik benang merah, rasanya ada satu hal yang menyatukan semua alasan yang berbeda itu, semangat kemartiran. Semangat pengorbanan yang diyakini bakal bermanfaat bagi sesama.
Bila kita cermati, penyerangan Ravi Marmara oleh tentara Israel ini sebenarnya sangat tidak beralasan dan tak disangka-sangka. Kapal yang membawa 700 relawan dari berbagai negara dan 10.000 ton bantuan kemanusiaan ini murni sebagai pembawa misi kemanusiaan. Namun, bukannya para relawan tak tahu resiko yang mesti dihadapi dalam menembus blokade ini. Mereka pasti telah memikirkan segala konsekuensinya, sekalipun itu harus berhadapan dengan tentara zionis Israel. Dan inilah yang paling mengusik benak saya, darimanakah mereka mendapatkan semangat keberanian itu? Meski tahu resikonya luar biasa besar, tak sedikit pun nyali mereka ciut. Bahkan setelah misi pertama ini kandas, mereka –para relawan- tak jera untuk terus menebarkan misi kemanusiaannya.
Kapal Rachel Corrie, yang namanya ternyata diambil dari seorang martir Palestina asal Amerika Serikat, telah mereka siapkan untuk meneruskan misi selanjutnya ke Jalur Gaza. Namun kabar terakhir pun menyebutkan, kapal ini tak akan pernah sampai ke tujuannya karena (lagi-lagi) dihadang barisan tentara Israel. Sikap kemartiran yang –kalau berhasil- bakal sangat berguna bagi kelangsungan hidup penduduk Palestina di Jalur Gaza. Sayang, sebuah misi kemanusiaan pun ternyata tak sanggup menembus blokade militer negara Yahudi tersebut.
Kalau menengok ke tanah air, tentu masih segar di ingatan kita akan sosok Munir. Seorang aktivis Hak Asasi Manusia yang konon terbunuh karena sikap kritis dan perlawanannya terhadap ketidakadilan. Ia tak berhenti menyuarakan aspirasi kaum-kaum tertindas walau di kanan-kirinya muncul banyak tekanan dan ancaman. Namun, pejuang gigih seperti Munir pun harus takluk oleh konspirasi busuk segelintir oknum yang membuatnya mati muda. Hingga saat ini, sosoknya masih memberi inspirasi para aktivis untuk terus bergerak dan melawan. Sampai-sampai band Efek Rumah Kaca pun merasa perlu untuk menulis lagu berjudul ”Di Udara” sebagai bentuk apresiasi atas jasa-jasa Munir sewaktu hidup.
Namun bila berbicara tentang sosok yang paling kontroversial dewasa ini, mungkin perhatian kita akan langsung tertuju pada seorang Susno Duadji. Kegigihannya dalam membongkar borok dalam institusi Polri benar-benar membuat beberapa pihak kebakaran jenggot. Betapa tidak, Susno tak segan menyebut nama sekaligus kasus-kasus yang beredar di lingkungan Polri. Masyarakat pun dibuat terkejut sekaligus mengelus dada dengan pengakuan mantan Kabareskrim ini. Institusi yang dipercaya masyarakat dapat memberantas praktek-praktek kejahatan, malah menjadi sarang kejahatan itu sendiri. Kabar terakhir, Susno justru dipidanakan oleh Polri terkait masalah pelanggaran kode etik.
Sebelas - dua belas dengan Bibit-Chandra, yang dengan gigih memperjuangkan kebenaran malah kembali dijerumuskan dengan berbagai tuduhan. Bahkan sampai sekarang kasus mereka masih terus bergulir dan berpotensi menimbulkan kemandulan dalam pemberantasan korupsi. Padahal mereka inilah figur-figur vital yang ingin menegakkan kembali supremasi hukum di negeri ini.
Moral yang bisa diambil dari beberapa kasus di atas adalah, dunia –kita- tampaknya butuh martir. Orang yang berani mengambil resiko yang justru dihindari oleh orang lain. Tentu, konteksnya harus positif. Karena ada juga mereka yang melakukan pengorbanan diri tapi justru merugikan orang lain, seperti para teroris yang gemar “mati syahid” dengan dalih membela ajaran agama.
Menjadi martir itu sulit. Saking sulitnya, hanya segelintir manusia yang diberi kehormatan menjadi pelopor bagi peradabannya masing-masing. Tapi kalau hanya untuk menjadi martir bagi lingkungan kita sendiri, rasanya tak terlalu sulit. Pertanyaannya, maukah kita mengorbankan kepentingan pribadi untuk menjadi martir bagi orang lain?[]
Senin, 10 Mei 2010
Cepat Saji Sampai Mati
Papan-papan nama restoran makanan waralaba itu kini tersebar dimana-mana. Keberadaannya dipastikan selalu ada di hampir setiap jalan protokol kota Bengawan. Katanya, tempat itu menawarkan gaya hidup modern dan berkelas. Ya, siapa sekarang yang tak kenal McDonald, Kentucky Fried Chicken, dan Pizza Hut misalnya? Bisa dipastikan orang-orang tersebut akan dicap kuper dan ndeso bila tidak mengenal salah satu diantaranya. Di “kuil makanan” ini, seseorang bisa mendapati dirinya sebagai individu yang modern. Seperti kata Milton M.R. Freeman dalam Food for Thought (and other Important Considerations) , “Makanan dalam konteks manusia sangat penting untuk data pengembangan kebudayaan dan identitas diri”. Namun di sisi lain, mereka tak sadar akan sesuatu yang menghegemoninya. Hal ini menggambarkan keadaan Timur yang menikmati dominasi Barat atas diri mereka. Singkat kata, terhegemoni namun menikmati.
Kondisi ini pun seakan menjadi pertanda perubahan pengertian ihwal makan-memakan. Seiring berjalannya waktu, saya menyadari bahwa makan bukan hanya tentang memasukkan benda ke dalam mulut, mengunyah kemudian menelannya. Layaknya tahapan oral Freud yang menjelaskan sebuah kenikmatan yang timbul dari kegiatan memasukkan sesuatu ke dalam mulut. Makanan sekarang tidak hanya dipahami sebagai kebutuhan dasar manusia. Lebih dari itu, makanan dapat menjadi sebuah aktualisasi diri. Bagaimana kita memaknai proses makan memakan adalah sebuah ritual keseharian yang selalu kita lakukan. Ataukah kini hanya sekedar gaya untuk memenuhi eksistensi diri? Seperti yang diteriakkan Milton M.R. Freeman dalam Food for Thought (and other Important Considerations) “You are What You Eat”. Selanjutnya, proses makan dan makanan hanya akan menjadi sebuah komoditas, menjadi mimpi buruk, dan menjadi gaya hidup bagi manusia modern.
Michael Pollan dalam In Defense Food mengatakan bahwa “Food isn’t what it once was. Actually, much of what we eat today may not be food at all”. Ia menggugat pola konsumsi manusia, khususnya manusia modern yang dirasa telah melupakan nilai-nilai sakral dalam makanan. Ia menyebut industrialisasi makanan, pengalengan makanan, dan perubahan kandungan makanan sebagai ”the western diet”. Sebuah kondisi dimana pangan bukan lagi menjadi hak dasar, tetapi menjadi komoditas yang mengeksploitasi manusia dan sumber pangan sekaligus.
Realitasnya, ketika makanan-makanan barat itu menerobos pasaran kita, secara tidak langsung budaya-budaya tempat mereka berasal juga ikut masuk. Budaya dan gaya hidup barat merasuki otak kita. Mulai kecenderungan terhadap makanan asing, cara makan, sampai pada pemilihan tempat makan yang membawa kita pada paradigma inferior. Inferioritas ini kemudian menjadi sebuah kebiasaan. Sehingga terkadang kita rendah dalam menilai makanan lokal. Kaum kapitalis dengan lihainya mengaburkan pandangan kita terhadap makanan lokal dan sedikit demi sedikit melupakannya. Gagasan-gagasan itulah yang melahirkan identitas kolektif modernisme yang imajiner. Bahwa kita adalah orang modern yang beradab bila kita makan di McD atau restoram fastfood lain. Anthony Giddens mengatakan, cara hidup yang dimunculkan oleh modernitas telah membersihkan manusia dari semua jenis aspek tradisional. Manusia semakin terhomogenisasi dalam segala hal, seperti budaya, dimana budaya-budaya semakin tergerus oleh modernitas.
Keadaan semakin runyam ketika melihat masifnya promosi makanan-makanan fast food dewasa ini. Noam Chomsky sampai menuangkan kekesalannya terhadap media yang diungkapkannya dalam What Uncle Sam Really Wants. Menurutnya, dalam media “the market is advertisers, that is, other business. The product is audiences!” Dalam Hypermarket and Hypercomodity, Baudrillard juga berpendapat bahwa kesadaran kita sudah dikikis sedikit demi sedikit oleh papan billboards, iklan, selebaran, dan promosi. Sebuah kondisi yang membahayakan kesadaran kritis kita sebagai seorang konsumen. Dengan gempuran iklan-iklan yang tentu dikemas sangat menggiurkan, sulit bagi konsumen yang labil seperti halnya anak muda untuk berkata “tidak” pada rayuan iklan makanan siap saji tersebut.
Lalu, dimana posisi kuliner lokal kita? Inilah yang paling mengkhawatirkan. Sebagaimana diketahui, gaya hidup modern telah mereduksi sekaligus meng-hiper-kan nilai tentang makanan dalam waktu bersamaan. Sadarkah kita akan banyaknya jajanan tradisional masa kecil yang kini mulai hilang? Coba berhenti sejenak untuk meraba ingatan kita tentang kue-kue seperti madu mongso, rondo royal, gethuk, cenil, thiwul dan lainnya. Masih ingatkah kita pada rasanya yang alami, sederhana, namun lezat? Kue-kue tradisional yang dulu begitu mudahnya ditemukan di jalanan, kini mulai digusur dengan tempura-tempura olahan dan makanan-makanan instan. Makanan-makanan tradisional sekarang hanya menjadi jajanan pasar yang murahan, sulit ditemui, bahkan seringkali dianggap tidak higienis dan kuno. Mereka sudah kalah populer dengan McD, KFC, Pizza Hut, dll. yang berjejalan diantara jalanan kita. Menghampiri, membius, dan merayu dalam kemasan manis yang menawarkan gaya hidup modern. Melibas identitas lokal makanan kita. Lalu, siapkah kita kehilangan selera lokal demi taste global? Atau dengan kata lain, cepat saji sampai mati?
Jumat, 19 Februari 2010
Fanatisme Suporter Sepakbola di Indonesia
Kerusuhan dalam dunia sepak bola yang disebabkan oleh ulah suporter terus terjadi. Begitu banyak korban yang jatuh semakin menambah buruk citra persepakbolaan Indonesia. Bentrokan antarpendukung kedua kesebelasan yang berlaga semakin sulit dihindarkan. Dalam dua bulan terakhir saja, penulis mencatat ada lima insiden yang melibatkan suporter yaitu aksi anarki bonek di kota Solo pada Jumat (22/1), penyerangan suporter Persijap oleh suporter PSIS pada Minggu (31/1), aksi brutal suporter Perseman Manokwari yang merusak fasilitas stadion pada Senin (1/2), tewasnya seorang suporter Persik Kediri akibat perkelahian sesama suporter Kediri pada Selasa (9/2), dan yang terakhir kerusuhan dalam derbi ”Mataram” antara PSIM Jogjakarta melawan PSS Sleman pada Jumat (12/2).
Rentetan kejadian ini tentu mengakibatkan kerugian materiil dan non-materiil yang sangat besar, baik dari sisi suporter maupun masyarakat umum. Tidak sedikit pula suporter yang meregang nyawa akibat fanatisme ”kebablasan” ini. Peristiwa-peristiwa ini-pun dapat memberi sedikit gambaran bahwa suporter sepakbola di Indonesia masih jauh dari kata matang.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, 2000), fanatisme sendiri diartikan sebagai keyakinan (kepercayaan) yang terlalu kuat terhadap ajaran (politik, agama, dst). Subyek yang terjebak fanatisme mengekspresikan keyakinan atau kegemarannya atas sesuatu secara berlebihan–kadang membabi buta–sehingga berakibat kuarang baik, bahkan menimbulkan perseteruan dan konflik serius. Penganut agama yang fanatis misalnya kerap masuk perangkap absolutisme–tak menyisakan kebenaran bagi pihak lain. Fanatisme yang kelewat batas sering kali mengantarkan subyek menjadi fundamentalis.
Memahami masalah suporter di Indonesia seringkali tidak bisa dilepaskan dari realitas sosial dalam masyarakat. Sepakbola, memetik ungkapan sosiolog Pierre Bourdieu, tak hanya sebuah permainan serius, tetapi lebih jauh menampilkan sebuah sistem dan struktur masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, kekerasan para suporter bola mesti dibaca sebagai persoalan sistem masyarakat kita pula.
Mengapa suporter sepakbola di Indonesia cenderung brutal? Bisa dikatakan, suporter di Indonesia itu masyarakat grass-root. Mereka biasanya dari kelas menengah ke bawah. Banyak pengangguran, pendidikannya juga tak terlalu tinggi dan sebagainya. Mungkin di rumah sudah sumpek. Mereka ingin mengekspresikan dirinya di stadion. Menunjukkan kalau eksistensi mereka itu ada. Bergesekan sedikit bisa menyalakan api. Inilah ironi subyek. Adalah maklum dalam kerumunan, subyek bisa terlempar jadi manusia anonim–tanpa identitas. Subyek itu melebur dalam kerumunan, sehingga tanpa sadar melakukan hal sama yang dilakukan subyek-subyek lain dalam kerumunan itu. Seorang diri manusia pastilah takut naik atap kereta api, apalagi jika harus menempuh ratusan kilometer Surabaya-Bandung. Namun, bersama individu lain dalam kerumunan, rasa takut itu akan lenyap. Subyek akan kehilangan rasa takut, ia tak peduli pada risiko. Sebaliknya dalam kerumunan, subyek bermetamorfosis jadi diri yang lain.
Dari sisi suporter, sudah barang lazim fanatisme suporter klub sepakbola Indonesia seperti menjadi gejala sosial yang berujung pada kondisi sosio-ekonomi masyarakat Indonesia saat ini yang erat berkait dengan kefrustrasian dan keterpurukan. Hitam putih dunia suporter Indonesia selalu bertumpang tindih dengan hiruk pikuk kompleksitas bangsa Indonesia dalam segala hal yang mencakup politik, budaya, pendidikan dan ekonomi. Sepakbola Indonesia memang terlanjur identik dengan keterbelakangan, keterpurukan dan dijejali kaum pinggiran, sebuah simbolisasi kaum yang paling frustrasi dalam hierarki sosiologis di Indonesia. Dalam sisi lain, menjadi suporter fanatik adalah cara untuk melepaskan diri dari persoalan sehari-hari dan pelarian dari rasa frustrasi berkepanjangan sebagai bangsa selain sebagai cara-cara untuk aktualisasi identitas dan kebutuhan terhadap pencitraan.
Langganan:
Postingan (Atom)