Jumat, 19 Februari 2010

Fanatisme Suporter Sepakbola di Indonesia


Kerusuhan dalam dunia sepak bola yang disebabkan oleh ulah suporter terus terjadi. Begitu banyak korban yang jatuh semakin menambah buruk citra persepakbolaan Indonesia. Bentrokan antarpendukung kedua kesebelasan yang berlaga semakin sulit dihindarkan. Dalam dua bulan terakhir saja, penulis mencatat ada lima insiden yang melibatkan suporter yaitu aksi anarki bonek di kota Solo pada Jumat (22/1), penyerangan suporter Persijap oleh suporter PSIS pada Minggu (31/1), aksi brutal suporter Perseman Manokwari yang merusak fasilitas stadion pada Senin (1/2), tewasnya seorang suporter Persik Kediri akibat perkelahian sesama suporter Kediri pada Selasa (9/2), dan yang terakhir kerusuhan dalam derbi ”Mataram” antara PSIM Jogjakarta melawan PSS Sleman pada Jumat (12/2).
Rentetan kejadian ini tentu mengakibatkan kerugian materiil dan non-materiil yang sangat besar, baik dari sisi suporter maupun masyarakat umum. Tidak sedikit pula suporter yang meregang nyawa akibat fanatisme ”kebablasan” ini. Peristiwa-peristiwa ini-pun dapat memberi sedikit gambaran bahwa suporter sepakbola di Indonesia masih jauh dari kata matang.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, 2000), fanatisme sendiri diartikan sebagai keyakinan (kepercayaan) yang terlalu kuat terhadap ajaran (politik, agama, dst). Subyek yang terjebak fanatisme mengekspresikan keyakinan atau kegemarannya atas sesuatu secara berlebihan–kadang membabi buta–sehingga berakibat kuarang baik, bahkan menimbulkan perseteruan dan konflik serius. Penganut agama yang fanatis misalnya kerap masuk perangkap absolutisme–tak menyisakan kebenaran bagi pihak lain. Fanatisme yang kelewat batas sering kali mengantarkan subyek menjadi fundamentalis.
Memahami masalah suporter di Indonesia seringkali tidak bisa dilepaskan dari realitas sosial dalam masyarakat. Sepakbola, memetik ungkapan sosiolog Pierre Bourdieu, tak hanya sebuah permainan serius, tetapi lebih jauh menampilkan sebuah sistem dan struktur masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, kekerasan para suporter bola mesti dibaca sebagai persoalan sistem masyarakat kita pula.
Mengapa suporter sepakbola di Indonesia cenderung brutal? Bisa dikatakan, suporter di Indonesia itu masyarakat grass-root. Mereka biasanya dari kelas menengah ke bawah. Banyak pengangguran, pendidikannya juga tak terlalu tinggi dan sebagainya. Mungkin di rumah sudah sumpek. Mereka ingin mengekspresikan dirinya di stadion. Menunjukkan kalau eksistensi mereka itu ada. Bergesekan sedikit bisa menyalakan api. Inilah ironi subyek. Adalah maklum dalam kerumunan, subyek bisa terlempar jadi manusia anonim–tanpa identitas. Subyek itu melebur dalam kerumunan, sehingga tanpa sadar melakukan hal sama yang dilakukan subyek-subyek lain dalam kerumunan itu. Seorang diri manusia pastilah takut naik atap kereta api, apalagi jika harus menempuh ratusan kilometer Surabaya-Bandung. Namun, bersama individu lain dalam kerumunan, rasa takut itu akan lenyap. Subyek akan kehilangan rasa takut, ia tak peduli pada risiko. Sebaliknya dalam kerumunan, subyek bermetamorfosis jadi diri yang lain.
Dari sisi suporter, sudah barang lazim fanatisme suporter klub sepakbola Indonesia seperti menjadi gejala sosial yang berujung pada kondisi sosio-ekonomi masyarakat Indonesia saat ini yang erat berkait dengan kefrustrasian dan keterpurukan. Hitam putih dunia suporter Indonesia selalu bertumpang tindih dengan hiruk pikuk kompleksitas bangsa Indonesia dalam segala hal yang mencakup politik, budaya, pendidikan dan ekonomi. Sepakbola Indonesia memang terlanjur identik dengan keterbelakangan, keterpurukan dan dijejali kaum pinggiran, sebuah simbolisasi kaum yang paling frustrasi dalam hierarki sosiologis di Indonesia. Dalam sisi lain, menjadi suporter fanatik adalah cara untuk melepaskan diri dari persoalan sehari-hari dan pelarian dari rasa frustrasi berkepanjangan sebagai bangsa selain sebagai cara-cara untuk aktualisasi identitas dan kebutuhan terhadap pencitraan.

Rabu, 12 Agustus 2009

City Menghapus Dominasi



Manuver yang dilakukan Manchester City pada musim ini cukup mencengangkan. Berkat sokongan dana dari Sheik Mansour klub yang selalu dalam bayang-bayang rival sekotanya, Manchester United ini mulai menunjukkan taringnya di bursa transfer. Sejumlah pemain bintang telah direkrut untuk memperkuat tim. Yang paling mencolok adalah di sektor penyerang. Pemain berpredikat bintang mulai dari Santa Cruz, Tevez hingga Adebayor sukses mendarat di City of Manchester dengan nilai transfer yang selangit. Padahal, sebelumnya klub ini telah memiliki beberapa penyerang handal macam Robinho dan Bellamy.
Hal ini berpotensi menimbulkan friksi di internal klub jika pelatih Mark Hughes tidak pandai mengatur para bintangnya. Di sektor lain, penambahan pemain dirasa lebih “masuk akal”. Masuknya Gareth Barry dan Kolo Toure dipercaya dapat menambah kesolidan tim, walaupun untuk mendatangkan mereka klub harus merogoh kocek cukup dalam.
Untuk merangsek ke papan atas EPL, tentu diperlukan usaha yang lebih dari sekedar mendatangkan pemain berkelas dengan harga tinggi. Namun, harapan untuk mengganggu dominasi The Big Four cukup terbuka jika Mark Hughes jeli dalam meramu timnya dan selalu menjaga agar kondisi tim tetap kondusif sepanjang musim.

Senin, 16 Maret 2009

K-A-O-S



Zaman globalisasi telah merubah berbagai hal yang ada di muka bumi ini, tak terkecuali apa yang dialami oleh sebuah pakaian bernama kaos. Di abad mutakhir ini, kaos telah menjadi sebuah kebutuhan dan trend bagi masyarakat luas, lebih-lebih anak muda. Padahal, jika ditilik dari awal kemunculannya, fungsi kaos terbatas hanya sebagai “pakaian dalam”. Fungsi kaos sebagai pakaian luar baru bisa tersebar ke seluruh dunia tatkala John Wayne, Marlon Brando, dan James Dean mengenakan kaos sebagai pakaian luar di dalam film-film yang mereka bintangi pada tahun 1950-an.

Dalam perkembangannya, terjadi pergeseran makna kaos dalam kehidupan social. Maksudnya, kaos tidak lagi hanya dipandang sebagai kain penutup tubuh, namun lebih dari itu. Disini, kaos memainkan peran lebihnya yaitu sebagai wahana petanda. Singkatnya, kaos dapat mengkomunikasikan berbagai lokasi, identitas social, slogan-slogan, maupun kelompok/komunitas tertentu. Lebih lanjut, kaos seakan menjadi pelengkap gaya hidup modern. Bisa dikatakan, semangat kehidupan modern ialah semangat kaos oblong.

Bagi kalangan muda sendiri, kaos telah menjadi candu. Jika Marx pernah mengatakan bahwa agama itu candu, maka di zaman kapitalisme ini candu itu bernama kaos. Hal ini dapat diamati dari keseharian anak muda dalam beraktivitas. Semangat kaos “oblongisme” telah menjangkiti sebagian besar dari mereka, jika saya boleh menggeneralisir keadaan. Jika dirunut lebih lanjut, terdapat berbagai corak atau desain yang tersemat di dalam kaos-kaos mereka. Tren kaos anak muda dewasa ini cenderung mengarah ke desain kaos distro. Selain itu, kaos-kaos bernada resistensi juga cukup menggejala di kalangan anak muda. Ada pula kaos yang menggambarkan kesenangan seseorang pada hal-hal tertentu semisal musik, sastra, dan lain sebagainya. Mengutip Ariel Heryanto, salah satu pemikir kebudayaan pop di Indonesia, kaos oblong punya bobot komunikasi yang (sengaja atau tidak) telah menunjukkan identitas seseorang.

Permasalahannya, apakah anak muda disini telah memahami esensi dari apa yang mereka kenakan? Apakah mereka hanya terjebak pada budaya konsumerisme yang dihantarkan lewat media kaos ini? Sehingga pada akhirnya akan mematikan kreativitas anak muda karena mereka memakai kaos yang seragam, yang bermerk. Jikapun kaos mereka bernada resistensi, sudahkah mereka memahami makna dari petanda tersebut? Ataukah hanya ingin terlihat “wah”dan berbeda saja dengan yang lain? Semua kemungkinan itu dapat saja terjadi di tengah budaya konsumtif lagi pragmatis pemuda zaman sekarang.

Jumat, 13 Maret 2009

Media Komunitas: Angin Segar Pers Mahasiswa

Di era pasca reformasi sekarang ini, pers mahasiswa dirasakan kurang terdengar gaungnya. Ketika kebebasan informasi sudah menjadi milik kita semua dan media massa (baru) tumbuh subur, kondisi pers mahasiswa justru makin tenggelam. Eksistensi pers mahasiswa yang dahulu dibanggakan kini seakan memudar seiring bergulirnya zaman. Lebih ironisnya lagi, di lingkungan kampusnya sendiri-pun, keberadaan pers mahasiswa kurang populer di kalangan mahasiswa.

Jika menilik sejarah, pers mahasiswa mengalami periodesasi sejarah yang tidak dapat dilupakan dalam sejarah pergerakan. Setidaknya terdapat tiga fase dalam pergerakan pers mahasiswa. Pertama, fase sebelum kemerdekaan. Kedua, pada awal kemerdekaan yang ditandai munculnya rezim orde lama. Ketiga, fase pemerintahan Orde Baru hingga saat ini. Periodesasi ini mengingatkan kita betapa besarnya kontribusi atau peran yang diberikan oleh pers mahasiswa terhadap perubahan nasional. Disini pers mahasiswa memiliki role yang jelas, yaitu menjadi corong demokrasi bersama dengan kaum pergerakan dalam rangka mengkritisi rezim yang berkuasa. Dapat dibaca dari terbitannya yang kental dengan nuansa perlawanan dan cenderung mengarah ke jurnalisme propaganda.

Lalu setelah keran demokrasi dibuka dengan bebas seperti saat ini, dimanakah posisi pers mahasiswa sekarang? Sebagai gambaran, setelah reformasi bergulir pers-pers umum tidak segan lagi untuk mengungkap fakta dan analisis yang mengkritisi pemerintahan yang berkuasa. Bahkan mungkin jauh lebih berani dan nekad dibandingkan pers mahasiswa era pergerakan sekalipun. Dengan kenyataan tersebut, fungsi kontrol sosial dan peran pers mahasiswa telah mengalami dekadensi. Lantas, apa yang masih tersisa dari sebuah organisasi intra kampus bernama pers mahasiswa?

Terhadap problem klasik ini, salah satu solusinya ialah menjadikan pers mahasiswa sebagai pers yang berbasis komunitas. Di sini pers mahasiswa mendapati dirinya sebagai artikulator dari komunitasnya, dalam hal ini kampus. Pers mahasiswa sebagai media komunitas dituntut untuk peka dan peduli terhadap masalah-masalah yang muncul di dalam komunitasnya. Idealnya, pers mahasiswa bisa menjadi oposisi atau sebagai fungsi kontrol terhadap kebijakan kampus yang merugikan kepentingan mahasiswa.

Selanjutnya dengan menjadi community paper , bukan berarti pers mahasiswa menafikan problem-problem berskala nasional. Hanya saja sudut pandang dan cara kerjanya yang perlu diubah. Dapat diartikan, para pegiat pers mahasiswa tidak perlu memaksakan diri untuk meliput berita yang bersifat nasional. Sebab, tetap saja akhirnya pers mahasiswa akan tenggelam oleh pers umum yang notabene didukung oleh modal dan tenaga profesional yang kuat. Pers mahasiswa cukup menyampaikan opini dengan sudut pandang komunitasnya (kampus) dalam menyikapi permasalahan nasional yang muncul. Dengan begitu, pers mahasiswa akan lebih “membumi” dan memiliki ciri khas karena mengambil perspektif lain dalam menganalisis problem nasional. Tentu hal ini dapat menjadi poin plus tersendiri bagi pers mahasiswa.

Dalam segi output penerbitan, kemasan (layout) dan rubrikasi majalah ataupun buletin yang konservatif sudah selayaknya ditinggalkan. Pers mahasiswa harus lebih kreatif dalam membuat konsep baru terbitan supaya dapat diterima dan diapresiasi dengan baik oleh mahasiswa yang notabene pasar utama persma.

Untuk mendukung pers mahasiswa sebagai media komunitas, para pegiat pers mahasiswa harus lebih jeli dalam memanfaatkan kesempatan untuk lebih berkembang. Dengan perkembangan teknologi informasi yang pesat belakangan ini, pers mahasiswa dapat lebih memainkan peran dalam komunitasnya. Dengan media internet, pers mahasiswa dapat melebarkan sayapnya via website maupun blog. Media-media online ini dapat berfungsi sebagai wadah komunikasi antara pers mahasiswa dengan komunitasnya (civitas akademika dan masyarakat) sekaligus menjembatani komunikasi antar pers mahasiswa seluruh Indonesia. Website juga dapat berfungsi sebagai media publikasi majalah elektronik /e-magz, opini dan berita terbaru seputar kampus dan lain sebagainya.

Kini telah banyak pers mahasiswa yang memiliki media online. Internet sebagai sarana media informasi dan komunikasi memiliki dua kelebihan yaitu kecepatan dan daya jangkau. Faktanya, kebanyakan pers mahasiswa ini hanya memaksimalkan daya jangkaunya saja. Sisi kecepatan kurang terjamah karena penggunaan website-nya sendiri cenderung hanya untuk publikasi materi media cetaknya Ikhtiar ini tidak salah namun akan lebih baik lagi bila para aktivis mahasiswa dapat memanfaatkan faktor kecepatan ini sebagai nilai tambah website-nya. Dengan banyaknya manfaat yang ditawarkan oleh dunia maya, sudah selayaknya para pegiat pers mahasiswa memaksimalkan media yang satu ini untuk lebih merangkul komunitasnya, di lain sisi sebagai ladang pembelajaran menulis bagi para anggotanya.

Tidak bisa dinafikan bahwa segmen pers mahasiswa saat ini memang lebih lokal. Hal ini tidak perlu disesali. Hemat saya, jadikanlah itu sebagai sebuah kekuatan, bukannya keterbatasan. Akan lebih elegan bagi pers mahasiswa sekarang jika eksistensi dan manfaatnya dapat dirasakan oleh civitas akademikanya dahulu. Sejalan dengan hal itu pers mahasiswa kini dituntut untuk merekonstruksi jati dirinya kembali. Lupakanlah sejenak romantisme kejayaan di masa lalu dengan segala ideologi yang menyertainya. Lagu-lagu reorientasi dan reposisi jelas masih bernas untuk digemakan. Ide menjadi media komunitas dapat menjadi angin segar bagi perjalanan pers mahasiswa. Bermula dari kampus, eksistensi persma harus mulai dikembangkan. Bukan suatu hal yang mustahil, masa keemasan pers mahasiswa akan dapat diraih kembali.

Sabtu, 17 Mei 2008

Atas Nama Pasar, Lagu Cinta Melulu…




Tidak ada yang tidak menarik dari sebuah lagu cinta, kecuali cara penyajiannya. Dan apa yang marak terjadi hari ini, sungguh terasa klise dan banal. Nada-nada yang minor dan irama mendayu-dayu menjadi rumus komposisi yang semakin melelahkan. Mudah ditebak, padanannya berupa lirik-lirik cengeng, mencoba dramatis, dengan pilihan kosa kata berikut rangkaian kalimat yang itu-itu saja. Sementara untuk tema, tidak akan jauh dari kesenduan ditinggal kekasih, diusik rindu, dan- yang terfavorit- perselingkuhan.
Kesemua itu, setiap hari terdengar dimana-mana. Berjejalan tiada henti. Lalu, ketika mutu dan tanggungjawab dipertanyakan, jawaban instannya tak lain: atas nama pasar. Sepertinya, mereka yang berada di industri musik menganggap sebagian besar masyarakat bodoh. Jikalau benar, bukan berarti harus dibuat semakin bodoh, bukan?
Keadaan semakin membosankan ketika lagu-lagu cinta semacam itu bukan hanya berjumlah beberapa dari keseluruhan materi sebuah album, namun mendominasi, bahkan ”jika perlu” seluruhnya. Mungkin itu bisa masuk akal andai semua lagu cinta itu dibuat berkualitas, dari segi apa pun. Tapi, mayoritas yang ada tidak demikian. Ada apa dengan para pencipta lagu? Ada apa dengan pencari talenta? Ada apa dengan para pendana rilisan album musik? Tampaknya, ada jawaban yang masih sama: atas nama pasar. Sementara pasar, sejauh ini, telah membuktikan ”intelektualitas” kuping mereka. Cukup banyak lagu-lagu bertema di luar cinta, atau pun lagu-lagu cinta yang tidak klise, terbukti mengecap kesuksesan komersial di pasaran. Kalau saya harus menyebut contoh, untuk mempertegas pernyataan di atas, terpaksa saya kembali bertanya: Seberapa besar dan merakyat nama-nama seperti Benyamin S, Slank, dan Iwan Fals bagi kita?
Sepertinya, selalu ada fenomena lagu-lagu cinta klise di pasaran di berbagai era. Dan selalu hadir seniman-seniman (baik didukung maupun tidak oleh para pendana) yang menciptakan karya-karya segar yang berbobot sebagai penyeimbangnya. Selalu ada pendapat tidak setuju pada keseragaman lagu-lagu cinta kualitas rendah yang diproduksi massal. Dan belakangan ini melalui ”Cinta Melulu”, single kedua dari album debut Efek Rumah Kaca (ERK), bisa jadi lagu pop pertama di Indonesia yang secara jernih dan menyentil mendendangkan suara kontranya.
Dan dengan diwakili lagu tersebut, ERK mencoba menyindir dengan “bersahaja” keseragaman yang telah dibuat oleh pasar. Melalui sepenggal liriknya, kita dapat membuktikan sekaligus mempertanyakan apakah orang Indonesia memang bersteorotip melayu? Suka yang sendu-sendu? Suka mendayu-dayu?? Hayo semua pada ngaku?!

Lagu cinta melulu
Kita memang benar-benar Melayu
Suka mendayu-dayu…

Senin, 14 April 2008

Evolusi Musik Punk



“Sejak awal ditemukannya genre musik punk oleh Sex Pistols, band punk asal Inggris, kini musik punk terus mengalami perkembangan. Setelah masa kejayaan melodic punk berlalu, kini giliran dance punk yang menguasai dunia musik.”

Masa kejayaan Rancid atau The Ramones memang telah berlalu, tergantikan oleh “new born of punk” antara lain blink 182, SUM 41 ataupun New Found Glory. Permainan nada yang melodius serta musik yang catchy membuat band-band melodic punk menjadi sangat digemari beberapa waktu lalu. Namun tren akan hal tersebut perlahan memudar seiring munculnya band-band baru seperti Franz Ferdinand, The Killers, Arctic Monkeys, atau yang paling fenomenal di tahun 2007 lalu, Panic! At The Disco.

Sindrom musik yang menawarkan distorsi gitar yang dinamis serta sound musik yang danceable ini memang sedang melanda dunia. Percampuran unsur rock 80-an serta kecanggihan teknologi menjadi dasar musik yang lebih dikenal dengan sebutan dance punk. Cabikan bass yang menghajar telinga, bersatu padu dengan sayatan gitar serta hentakan drum yang begitu memancing adrenalin untuk mengikuti irama. Ditambah sampling-sampling yang dihasilkan oleh synthesizers digunakan sebagai aksen yang indah dalam sebuah lagu.

Perkembangan electro musik di Eropa menjadi salah satu penyebab mewabahnya dance punk di dunia. Dance punk dijadikan influence terpenting dalam musik yang mereka mainkan. Franz Ferdinand disebut menjadi salah satu pelopor berkembangnya dance punk di dunia. Hal ini terbukti dengan menjamurnya band-band yang sejenis belakangan ini seperti Kaiserchiefs, Hard-Fi, The Rakes, Arctic Monkeys, Panic! At The Disco, Fall Out Boy,dll.

Dance Punk sendiri awalnya muncul pada tahun 70-an di New York dan Inggris. Pada awal 90-an kita juga pasti mengenal Duran-Duran, band yang sangat kental akan influence dance punk-nya. Dengan betotan bass yang dipadukan dengan ritem dance yang kental, musik ini pun terus mengalami perkembangan dengan kekayaan unsur yang dimilikinya. Sebagai contoh, perpaduan sound gitar yang beraroma funk serta bassline yang rapi ditambah dengan synthesizers, drum machine, dan teknologi musik lainnya. Perpaduan inipun menghasilkan musik yang ngebeat dan enak dipakai untuk menari di lantai dansa, namun tetap dengan ciri khas musik punk yang kental. Dan musik inilah yang dikenal sebagai dance punk. Dance punk pun dapat dikatakan sebagai “evolution of punk music”.

Minggu, 06 April 2008

Titik Jenuh


Hari-hari terakhir ni bikin qpingin resign dari kuliah aja. Bener-bener mbosenin banget. Gabisa dibayangain kalo setiap satu MK tugasnya masing-masing ada 3..Mana bentar lagi mid lagi. Tai. Kuliah koq gini-gini aja. Kalo sibuk ya sibuk banget, eh klo longgar waktunya berasa kaya' pengangguran. (Untung gw ikut LPM..). Gw rindu ma masa-masa SMA gw..rindu ngumpul ma temen-temen band gw...Damn,,

College Fuck Fest is already begin!!
I'm fed up with this situation.
Is anybody listening???

(gw terpaksa blajar. 5jam lagi mid..tugasq blm slse..)